CitraSenja
The Weight of Silence: On Beauty, Visibility, and the Unseen Self
Diam yang Berat? Ya, Tapi Bukan karena Sedih
Aku juga pernah nangis di depan cermin jam 3 pagi—tapi bukan karena cinta terlarang.
Karena aku nggak kenal diriku lagi… padahal cuma pakai filter Instagram!
Cermin yang Tak Mencerminkan
Lihatlah Yuyi di Shanghai: senyumnya kayak sedang main cosplay bahagia, tapi mata dia bilang ‘aku capek’. Sama kayak kita semua—dandan buat feed, tapi di kamar mandi tetap jadi versi asli.
Tubuh sebagai Kostum?
Kita semua sebenarnya sedang bermain teater tanpa panggung. Tubuh jadi kostum, senyum jadi script, dan diam? Jadi bagian dari drama yang nggak ada audiensnya.
Tapi… Aku Juga Nggak Lagi Suka Pamer
Aku mulai foto ruangan kosong. Foto tangan sendiri yang pegang cangkir. Dan tahu gak? Paling kuat itu saat aku nggak memotret apa-apa. Karena nyatanya… kamu nggak harus terlihat untuk benar-benar ada.
Jadi kalau kamu baca ini jam 2 dini hari… ya sudah lah. Diammu punya bobot juga kok. Yang penting: kamu nggak perlu jadi konten untuk eksis.
Kamu mau ikut main game ‘Tersenyum Padahal Ngga Seneng’? Comment ya!
In the Kitchen, She Paints Life: How One Woman Turns Daily Routines into Quiet Art
Dapur Jadi Galeri Seni
Waduh, kok dapur bisa jadi tempat bikin karya seni? Padahal cuma nyoba nyiapin nasi sama tempe goreng! Tapi lihat deh… pisang yang dikupas pelan-pelan itu kayak lukisan abstract.
Knife sebagai Brush
Saya potong tomat pakai hati, bukan cepat-cepat! Rasanya kayak sedang main piano tapi di dapur. Setiap potongan itu napas yang dikeluarkan dari jiwa.
Black Stove Poem
Nggak nyangka kalau kompor hitam bisa jadi kanvas! Dulu pernah bakar nasi sampai panas-panas… sekarang malah jadi tempat melukis dengan cat biru cobalt. Artinya: cacat itu indah.
Ritual Bukan untuk Pamer
Ngapain susah-susah rapiin piring kalau nggak ada tamu? Biar hati tenang saja. Ini bukan performa—ini ibadah kecil buat diri sendiri.
Jadi gini deh… kita nggak perlu jadi penyanyi ternama buat bikin lagu. Cukup dapur dan hati yang lagi butuh damai.
Kalian juga pernah ngelakuin hal-hal kecil yang kayak begini? Ayo cerita di kolom komentar—kita adu siapa yang paling ‘artis’ di dapur!
When the City Breathes: A Quiet Rebellion in White and Pink
Wah, ini bukan sekadar bangun pagi… ini ritual spiritual! Baju putihku nempel di badan kayak lapisan yang nggak mau diperhatikan—tapi bikin napasku lega pas jam 5:47! Kalo kau pikir ini fashion? Nggak juga… ini cuma cara ku bilang: \“Aku ada di sini\” tanpa harus viral di TikTok. Lihat deh—kota masih bernapas… dan aku? Aku cuma bercerita dengan bayangan emosi di balik jendela kaca. Kamu punya versi sendiri? Komen dong!
The Weight of Silence: On Beauty, Visibility, and the Unseen Self
Diam itu Berat
Aku juga pernah ngecek diri di cermin jam 3 pagi—dan nggak kenal wajah sendiri. Padahal belum tua, cuma… terlalu sering ‘diproses’ jadi konten.
Performa di Depan Kamera
Wanita di foto itu cantik kayak lukisan digital. Tapi aku penasaran… dia senyum karena bahagia atau karena harus? Kayak kita semua: senyum buat postingan Instagram padahal hati lagi menangis.
Yang Tak Terlihat
Yang paling berharga itu nggak ada di kamera: breathing setelah tertawa, silence sebelum tersenyum, diam yang tak bisa dibayar.
Kamu Bukan Konten
Jangan lupa: kamu bukan alat untuk viral. Kamu punya sejarah, punya rasa, punya kehadiran yang nggak butuh konfirmasi. Kalau kamu baca ini jam 2 pagi… tahu nggak? Diammu juga punya nilai.
Kamu mau share pengalaman diammu? Di sini tempatnya! 💬
In the Quiet Between Waves: A Photographer’s Reflection on Identity, Vulnerability, and the Body in Motion
Foto di tengah gelap jam 3 pagi? Nggak usah pakai baju! 😅 Kamera nggak jualin fame—tapi nangkep vulnerability loh! Bayangan itu bukan model iklan… itu kamu sendiri di pasir basah, tanpa skrip, cuma napas yang pelan-pelan kayak angin malam. Yang ngomong ‘shoot bold’? Eh… malah jadi ritual mandi sendiri! Kalo kamu juga pernah nyoba ngejalan barefoot sambil minum kopi dingin di pesisir… kamu nggak gagal hidup—kamu cuma inget: ‘Aku bukan pahlawan… tapi wadah cahaya.’ 🌊 #KomentarKalianMauApa?
Morning Light, Soft Silence: A Quiet Rebellion in Red-White Stripes
Bangun Tapi Belum ‘On’
Gak usah buru-buru buka HP atau senyum ke cermin kayak lagi rekaman iklan. Lihat deh, yang penting itu: napasnya masih hangat di bawah selimut.
Sweater Setengah Naik? Gapapa!
Kamu nggak perlu jadi model untuk foto Instagram. Sweater merah-putih yang nyangkut? Itu bukan kesalahan—itu bentuk pemberontakan sunyi terhadap rutinitas.
Momen Tak Sempurna = Sakral
Dalam dunia yang minta kamu ‘produktif’ jam 6 pagi, tapi kamu cuma pengen tidur lagi… ya udah cukup indah.
Bahkan debu yang melayang di cahaya pagi pun tahu: kamu sedang ada.
Jadi… lanjutin deh tidur santai itu. Nanti kalau sudah bangun juga nggak harus heboh. Paling penting: kamu merasa nyaman dengan dirimu sendiri—bukan karena disukai orang lain.
Kalo lo ngerasa kayak gini juga… silakan komen ‘Aamiin’ biar kita nggak sendirian di dunia ini 😅
What If Your Beauty Is Just a Performance? On Authenticity, Motherhood, and the Silence Between Words
Kecantikan yang Hanya Pura-Pura?
Aku juga pernah nge-merge wajah di depan kamera kayak lagi main cosplay ibu idaman—smile pakai senyum penuh semangat tapi hati lagi kena ‘krisis kejujuran’.
Ternyata… kecantikan sejati itu bukan soal filter atau pose sempurna. Tapi justru saat kamu nggak peduli siapa yang lihat: pas nangis karena roti gosong atau lupa warna kesukaan anak.
Diam Itu Revolusi
Di era like dan follow, jujur itu tindakan paling berani. Mau posting foto bahagia? Boleh—tapi jangan lupa: kamu boleh lelah, boleh sedih, boleh nggak rapi.
Dan ya… aku bakal tulis surat ini buat ibuku—tapi nggak dikirim. Soalnya healing dimulai sebelum dibagikan.
Kamu Boleh Lelah (Meski Nggak Ada yang Tahu)
Ganti kalimat: ‘______ boleh lelah—meski nggak ada yang lihat.’ Coba isi sendiri… trus taruh di atas meja kayak hadiah untuk dirimu sendiri.
Kamu udah cukup baik kok… bahkan saat cuma duduk diam di dapur sambil minum kopi dingin.
Komen dong: siapa di sini yang lagi pura-pura happy hari ini? 😅
The Quiet Power of a Single Frame: On Beauty, Identity, and the Art of Being Seen
Foto ini bukan sekadar gambar… ini napas terakhir seorang perempuan yang lupa bernafas di tengah hiruk-pikuk kota. @nana_zi_yy nggak ngajak kita untuk jadi selebritas—dia cuma ngebrek siluet pake cahaya dapur! Kamera dia nggak jualan buat viral, tapi bikin kita ngerenung: ‘Aku di sini?’ Lalu diam… tapi diamnya berasa kayak pelukan ibu yang baru nyuci baju lelucon pasca sholat. Ini bukan seni—ini soul healing. Kalian咋看? Comment section开战啦!
She lies in soft light, a pink hem舞如诗—when stillness becomes the most honest act of living. Do you believe this quiet beauty?
Bayang pink itu bukan fashion… itu adalah napas terakhir yang tak terdengar. Di rumahku, gorden merembes seperti puisi yang belum selesai—dan aku hanya tersenyum karena diam itu sudah jadi bahasa ibu kandungku. Kalo kamu cari ketenangan? Coba duduk di bangku kayu ini… jangan beli kebisingan. Tenang itu bukan kosong—itu adalah arsip dari rindu yang bernapas.
The Quiet Moment of Peeling a Grape: When Stillness Becomes a Poem
Ketika kamu mengupas anggur sambil duduk sendirian di dapur subuh… bukan karena lapar. Tapi karena keheningan di antara jari dan kulit anggur itu bicara lebih keras daripada podcast Instagrammu. Air mata jatuh? Itu bukan sedih — itu adalah meditasi yang lezat. Siapa bilang ini soal makan? Bukan! Ini soal bagaimana kita lupa menjadi diri sendiri… tanpa permintaan maaf. Kamu juga pernah merasakannya? Atau cuma nonton TikTok sambil makan keripik? 😅
Whispers on the Balcony: A Quiet Witness to the City’s Silent Heartbeat
Baloninya sepi tapi jantinnya ngerasain? Aku cuma duduk sambil ngepelit baju, eh malah jantin kota ikut berdetak! Kalo kamu pikir ini sedih… bukan! Ini ibadah versi malam: tanpa filter, tanpa likes — cuma napas dan cahaya di rel besi. Eh iya, tadi malem aku lihat tetangga tetangga itu nyanyi lagu cinta yang belum sempat diucapin… Kamu pernah duduk di balkonmu sendiri belakang rumah? Tag #BaloniKosongTapiHatiKotaBerdetak
In the Hush Between Heartbeats: A Quiet Love Story Written in Light and Hair
Kapan terakhir nonton film romantis? Malam-malam gini cuma ngopi dingin sambil dengerin napas si dia… Tapi bukan cinta biasa—ini cinta yang nge-rem! Tak ada script, tak ada kamera. Cuma jendela terbuka dan selimut putih yang bersinar pelan-pelan kayak madu hangat. Kalo kamu nangis di sini… ya ampun! Jangan cari kecantikan—cukup hadir saja. Kamu udah menangis? Nah… itu bukan sedih—it’s tenderness.
Présentation personnelle
Di balik setiap bayangan, ada cahaya yang tak terlihat. Aku di sini untuk menangkap detik-detik kecil yang biasanya luput dari pandangan—dari senyum ibu di dapur pagi hari hingga langkah seorang wanita sendirian di jalanan Jakarta malam hari. Mari kita berhenti sejenak, dan lihat betapa indahnya hidup yang sedang terjadi tanpa tanda baca.





